suara-kesetaraan-diaspora-malaysia-guncang-kubu-harimau-malaya

reachfar –  Aksi protes besar-besaran dari diaspora Malaysia melanda Stadion Bukit Jalil pada 25 Maret 2025, menyusul pertandingan sepak bola antara Harimau Malaya (tim nasional Malaysia) melawan Malaysia vs Nepal . Gelombang demonstrasi ini dipicu oleh isu diskriminasi terhadap pemain lokal dalam seleksi tim nasional, yang dianggap merusak semangat persatuan olahraga.

Matthew Davies, kapten Harimau Malaya, secara terbuka menyerukan penggemar untuk menghentikan praktik diskriminasi. “Kami memperingatkan semua pendukung agar tidak membedakan pemain berdasarkan latar belakang. Setiap atlet yang berkontribusi untuk Malaysia adalah bagian dari Harimau Malaya,” tegas Davies. Pernyataan ini muncul setelah sejumlah pemain keturunan diaspora dituding tidak “cukup Malaysia” oleh kelompok ultra nasionalis.

Protes ini mencapai puncaknya saat puluhan ribu demonstran—terutama diaspora Malaysia yang bekerja di luar negeri—menerobos batas keamanan stadion. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Kami Juga Malaysia” dan menuntut inklusivitas dalam seleksi atlet. Aksi ini berlangsung damai, meskipun sempat memicu ketegangan dengan aparat.

Latar Belakang Konflik

Isu diskriminasi dalam tim nasional Malaysia telah lama menjadi sorotan. Sejak 2023, pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga menggalakkan program integrasi diaspora untuk memperkuat sektor olahraga. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari kelompok yang menganggap kuota pemain diaspora mengurangi pelakat atlet lokal.

Harimau Malaya sendiri sedang dalam proses regenerasi setelah gagal lolos ke Piala Dunia 2026. Pelatih baru tim, yang diangkat awal 2025, disebut akan merekrut lebih banyak pemain dari liga Eropa dan Australia—banyak di antaranya merupakan diaspora generasi kedua.

Respons Pemerintah

Perdana Menteri Anwar Ibrahim melalui juru bicaranya menyatakan dukungan terhadap pluralisme dalam olahraga: “Harimau Malaya adalah simbol kebanggaan nasional yang harus mencerminkan keragaman Malaysia”. Namun, belum ada tindakan konkret untuk merevisi sistem seleksi nasional.

Analis politik Universitas Malaya, Dr. Ahmad Faisal, mengingatkan: “Protes ini bukan sekadar tentang sepak bola, tetapi ujian bagi kohesi sosial Malaysia di era globalisasi”.