icc-dituding-dosa-kemanusiaan-duterte-hadapi-dakwa-atas-perang-narkoba-berdarah

reachfar – Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte secara resmi ditangkap oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait operasi antinarkoba berdarah selama masa kepemimpinannya (2016–2022). Penahanan ini terjadi setelah ICC menerbitkan surat perintah penangkapan internasional pada Rabu (18/10), menyusul penyelidikan panjang terhadap dugaan pembunuhan sistematis yang menewaskan ribuan warga.

Latar Belakang Operasi Antinarkoba

Kampanye “Perang Melawan Narkoba” Duterte, yang dimulai sejak 2016, diklaim telah menewaskan lebih dari 6.200 orang versi resmi pemerintah. Namun, kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International memperkirakan korban mencapai 30.000 jiwa, termasuk anak-anak dan warga tak bersalah. Operasi ini melibatkan polisi, militer, dan bahkan “eskadron kematian” sipil yang diduga mendapat mandat ilegal dari pemerintah.

Dasar Hukum dan Tantangan Yurisdiksi

Meski Filipina resmi keluar dari ICC pada 2019, pengadilan ini mengklaim kewenangan hukumnya berlaku karena investigasi dimulai sebelum penarikan diri. Juru Bicara ICC, Fadi El Abdallah, menegaskan, “Pembunuhan massal ini terjadi ketika Filipina masih menjadi anggota ICC, sehingga kami wajib menindaklanjutinya.”

Namun, tim hukum Duterte membantah legitimasi penangkapan ini. “ICC tidak memiliki yurisdiksi, dan ini adalah intervensi politik terhadap kedaulatan Filipina,” protes Salvador Panelo, mantan penasihat presiden.

icc-dituding-dosa-kemanusiaan-duterte-hadapi-dakwa-atas-perang-narkoba-berdarah

Reaksi Domestik dan Internasional

Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr., menyatakan akan “mengkaji langkah hukum” sembari menekankan komitmen pada proses hukum nasional. Sementara itu, kelompok korban dan aktivis menyambut positif langkah ICC. “Ini kemenangan bagi keluarga korban yang menuntut keadilan selama tujuh tahun,” ucap Maria Kristina Conti, pengacara dari organisasi Rise Up for Rights.

Di sisi lain, pendukung Duterte menggelar unjuk rasa di Manila, menyebut penangkapan ini sebagai “konspirasi asing”.

Proses Hukum Selanjutnya

Duterte akan menjalani persidangan perdana di Den Haag pada November 2023. Jika terbukti bersalah, ia menghadapi hukuman penjara seumur hidup. Namun, proses ini berpotensi memakan waktu tahunan mengingat kompleksitas kasus dan kemungkinan banding.

Implikasi Politik

Kasus ini menjadi ujian bagi hubungan Filipina dengan negara Barat. Pemerintah China, yang selama ini mendukung Duterte, secara diam-diam mempertanyakan “standar ganda” ICC dalam menangani isu hak asasi manusia.